Rabu, 23 Desember 2015

Kaum Vulnerable di Mata Hukum


Oleh: 
Noviana Niswatur Rohmah
1711143065
HES 3C


Kaum vulnerable, mungkin istilah ini masih asing ditelinga masyarakat umum. Istilah asing yang merujuk kepada status golongan didalam masyarakat ini memang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari didalam masyarakat. Kaum vulnerable adalah kaum yang sangatlah dekat dengan pelanggaran HAM, rentan akan pembedaan hak dan kewajiban mereka dimasyarakat kaum yang terpinggirkan karena keadaan ataupun karena menjadi kaum minoritas didalam masyarakat. Kaum vulnerable sebenarnya banyak disekitas kita entah karena keadaan ataupun menjadi kaum minoritas dilingkungan masyarakat.
Kali ini saya ingin menulis sebuah artikel tentang pengalaman kaum vulnerable yang ada disekitar saya yang termarjinalkan oleh hukum dan tidak tersentuh oleh tangan pemerintah. Saya mewawancarai kaum vulnerable yang berada dilingkungan sekitar rumah saya yaitu beliau menjadi kaum vulnerable bukan karena menjadi kaum minoritas tetapi karena kemiskinan, keadaan yang menggiringnya menjadi kaum yang terpinggirkan dan rentan terlanggar haknya yang seharusnya dia sadari bahwa setiap warga negara berhak atas semua fasilitas yang disediakan pemerintah tanpa melihat status sosial seseorang tidak diketahuinya.
Nenek Nafi’ah diusianya yang sudah 70 tahun masih harus berjuang memenuhi kebutuhan ketiga cucunya yang menjadi tanggung jawabnya karena kedua orang tua cucu-cucunya yang bercerai dan tidak ada tanggung jawab nafkah dari sang ayah lalu ibunya berusaha mencari nafkah dinegeri orang yang tidak bisa setiap bulan mengirimkan uangnya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Beliau mencari nafkah dengan menjadi tukang pijat panggilan ataupun menjadi buruh cuci setrika ditetangganya, beliau tinggal disebuah rumah sederhana hadil bantuan dari pemerintah didesa ngadiluwih rt 04 rw 03 kecamatan ngadiluwih kabupaten kediri.
Sebenarnya bantuan pemerintah seperti kartu keluarga sejahtera sudah didapatkan oleh nenek Nafi’ah tetapi pencairan dana yang tidak pasti setiap bulannya terkadang hanya cair tiga ataupun enam bulan sekali yang dananya pun tidak sepenuhnya utuh. Dana dari kartu keluarga sejahtera yang semestinya 200 ribu rupiah perbulan terkadang hanya diterima sekitar 450 ribu rupiah dalam jangka waktu tiga bulan yang memang tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan ketiga cucunya setiap hari. Sedangkan anaknya atau ibu dari cucu-cucunya tidak bisa setiap bulan rutin mengirimkan uang bulanan kepadanya dikampung, tidak pasti terkadang enam bulan sekali ataupun dua bulan sekali itupun nominalnya tidak lebih dari dua jutaan saja.
Ketiga cucunya semuanya bersekolah masing-masing kelas dua smp, kelas empat sd dan kelas satu sd. Keluarga ini sangatlah terbantu dengan program pemerintah yang mencanankan wajib belajar duabelas tahun yang menggratiskan jenjang pendidikan sd sampai sma. Tetapi hal lain yang luput dari perhatian pemerintah adalah disaat semua biaya spp dan gedung serta buku gratis alat pendukung peserta didik seperti peralatan sekolah dan seragam tetap menjadi tanggungan peserta didik. Memang ada bantuan dari pemerintah melalui kartu indonesia pintar tetapi sampai sekarang kartu tersebut belum terdistribusi kepada para peserta didik ini.
Cucu nenek Nafi’ah terpaksa memakai seragam usang ataupun seragam pemberian dari tetangga yang memang sudah tidak terpakai tapi masih layak dengan sepatu sederhana dan alat tulis serta buku yang seadanya. Mereka bersekolah di sdn 3 ngadiluwih dan smp 2 ngadiluwih, prestasi mereka disekolah biasa-biasa saja sama seperti kebanyakan murid tidak menonjol ataupun mendapat rangking dikelas.
Disela-sela wawancara beliau berkata, “memang sudah menjadi takdir dan jalan hidup saya susah jalani saja disukuri saja.” Sebuah pemikiran yang menjadi salah satu faktor melanggengkan kemiskinan di Indonesia sampai saat ini. Pasrah akan takdir dan keadaan, menyerah dengan keterbatasan yang seharusnya bisa menjadi cambuk untuk merubah keadaan yang tidak bisa disalahkan karena tidak ada satu manusia pun yang mau hidup dibawah garis kemiskinan serta himpitan ekonomi yang membelunggu mereka.
Secara hukum merekapun sebenarnya masih terpinggirkan contohnya seperti tidak terdaftarnya mereka dalam BJPS kesehatan dalam kategori keliarga tidak mampu. Yang bterdaftar hanya nenek Nafi’ah sedangkan ketiga cucunya tidak terdaftar. Ada suatu keadaan dimana salah satu cucu dari nenek Nafi’ah ini sakit gejala DBD dan harus dirawat dipuskesmas ngadiluwih tetapi karena tidak terdaftar sebagai peserta BPJS beliau harus membayar biaya perawatan cucunya tersebut secara penuh.
Ditengah ketidakadilan yang diterimanya nenek Nafi’ah hanya berkata. “namanya juga musibah kalau nggak terdaftar dibantuan pemerintah berarti bukan rejekinya.” Pelanggaran hak mendapatkan pelayanan kesehatan terlihat jelas disini. Jaminan kesehatan gratis hanya menyasar sebagian kecil dari masyarakat miskin yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan serta perhatian dari para pihak yang terkait. Ketidak adaan kepedulian pejabat pemerintahan terbawah menjadi salah satu faktor langgengnya kemiskian serta pelanggaran hak pada kaum vulnerable ini. Ketidak berdayaan kaum ini yang dimaanfaatkan oleh pemerintah dengan alasan kemiskinan itu sulit untuk diatasi karena bantuan serta program-program kesejahteraan sosial yang dicanankan pemerintah hanya membantu kaum vulnerable ini dipermukaan saja tidak sampai pada akar permasalah sebenarnya.
Penyadaran kesamaan hak setiap warga negara tidak ada dan juga kepekaan sosial yang mulai pudar. Nenek Nafi'ah sebenarnya sudah mendapatkan haknya sebagai warga negara dengan mendapatkan dana bantuan dari pemerintah yang biasa disebut kartu keluarga sejahtera. Dan dengan dana bantuan dari pemerintah tersebut nenek Nafi’ah berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang semakin hari semakin banyak keperluan dan kebutuhannya belum jika ada kebutuhan darurat seperti cucunya yang sakit dan harus masuk kedalam golongan pasien umum.
Pelanggaran hak lainnya pun didapatkan oleh cucu beliau yang pertama dimana cucunya yang bersekolah smp ini tidak mendapatkan BSM atau beasiswa siswa miskin karena sulitnya persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Harus ada surat tanda tidak mampu dari kelurahan yang mana regulasi birokrasinya yang masih berbelit belit jika tidak ada perantara. Sedangkan nenek Nafi’ah pun yang memang buta huruf dan tidak tahu menahu tentang hal tersebut tidak dapat mebantu sang cucu untuk mengurusi surat- surat tersebut ke kelurahan.
Dengan tidak terpenuhinya persyaratan tersebut sang cucu pun gagal dalam penerimaan BSM kerena tidak adanya surat pernyataan tidak mampu dari keluarahan. Lalu hak dari siswa miskin ini pun jatuh kepada siswa lain yang sebenarnya mampu tetapi dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh pihak sekolah, hal ini termasuk dalam pelanggaran hak terhadap kaum vulnerable yang sebenarnya tidak harus terjadi jika dari awal mereka mendapatkan kartu indonesia pintar yang saat ini ntelah dicanankan oleh pemreintah untuk membantu para siswa miskin. Ketidak adaan kesadaran hak terhadap hak yang seharusnya mereka terima menjadi salah satu penyebab banyaknya kaum vulnerable di Indonesia sampai saat ini.
Seharusnya pemerintah selain mencanakan progrram- program sosial ini untuk membantu kaum vulnerable untuk lepas dari belenggu kemiskinan penyuluhan terhadap hak- hak mereka seharusnya dilakukan sehingga mereka dapat memperjuangkan haknya jika terjadi pelanggaran hak seperti diatas bukan hanya pasrah terhadap keadaan mereka saat ini. Sikap pasrah dan menjalani hidup sesuai takdir yang tergaris tanpa adanya usaha menjadikan mental para kaum vulnerable ini menjadi mental kaum lemah yang menganggap kemiskinan sebagai garis keturunan mereka. Dengan kepasrahan ini lah kaum ini menjadi rentan terhadap pelanggaran hak yang seharusnya mereka terima, pemikiran bersyukur dalam segala keadaan memang tidak salah tetapi mensyukuri keadaan yang tidak diusahakan secara maksimal dapat menjadikan mental rendah diri dan gampang menyerah subur dalam kaum ini.
Peran pemerintah dalam membangun mental warga negaranya seharusnya digalakkan untuk apa semua bantuan sosial itu jika hanya menjadikan kemiskian ini berketurunan dan menjadi garis hidup msayarakatnya yang ,merasa miskin itu harus disyukuri selama pemerintah masih peduli dengan segala fasilitas bantuan sosialnya. Segala bentuk pemikiran seperti ini harus dihilangkan dari pemikiran kaum- kaum ini agar kemiskinan serta pelanggaran hak tidak membelunggu mereka selamanya.

Minggu, 08 November 2015

Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Perubahan Hukum



Oleh:
Noviana Niswatur Rohmah
1711143065/HES 3C
IAIN Tulungagung

Dalam tugas saya kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum. Hubungan tersebut  merupakan hubungan interaksi atau timbal balik yang berpengaruh terhadap perubahan keduanya yaitu perubahan sosial dan hukum. Keduanya berinteraksi satu sama lain dan menimbulkan dampak tertentu. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya terdapat dua paradigma atau cara pandang secara ilmiah.
1.      Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak tertinggal oleh laju perubahan masyarakat.

Ciri-ciri paradigma ini adalah:
a)      Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung di ikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi saling bergantungan
b)      Hukum selalu menyesuaikan diri pada perubahan sosial
c)      Hukum berfungsi sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial

Paradigma ini disebut juga paradigma hukum penyesuaian kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

2.      Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan.

Ciri-ciri paradigm ini adalah:
a)       Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat
b)       Hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat secara langsung
c)       Hukum berorientasi masa depan

Inti dari perubahan ini adalah hukum diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang mungkin akan muncul. Paradigma ini disebut juga paradigma hukum antisipasi masa depan. Saya akan menganalisis beberapa pasal tentang UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 dan bagaimana penerapan dua paradigma perubahan sosial terhadap hukum tersebut. Saya disini akan menganalisi penerapan dua paradigma tersebut dibeberapa pasal dalam UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 tepatnya bab VIII tentang pengasuhan dan pengangkatan anak, saya disini akan membahas pasal bagian keduanya yaitu tentang pengangkatan anak pasal 39 sampai 41 dan pasal 79 tentang ketentuan pidana pelaksanaan pengangkatan anak
.
Yang pertama saya akan membahas tentang pasal 39 yang belum diamandemen yang berbunyi:
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anakdan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempatdan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pengangkatan anak yang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan mayoritas penduduk setempat.
Pasal ini pada tahun 2014 diamandemen atau dirubah dengan ketentuan ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1(satu) ayat yakni ayat (2a) dan diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1(satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga pasal 39 berbunyi sebagai berikut: 
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempatdan ketentuan peraturan perundang-undangan
2.      Pengangkatan anak yang sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
2a. Pengangkatan anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan
pada akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
4a. Dalam hal anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat anak
tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 ayat(4)
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Dari pasal diatas yang telah diamandemen pada tahun 2014 ada beberapa tambahan pasal yaitu pada ayat 2 dan 4 masing-masing satu ayat tambahan. Pada ayat 2a ditambahkan bahwa identitas anak angkat wajib dicatatkan diakta kelahiran sesuai identitas awal anak dan jika asal usul anak angkat tidak diketahui orang tua angkat wajib menyertakan identitas anak sesuai dengan pasal 27 ayat (4) yaitu dengan keterangan orang yang menemukan dan dilengkapi dengan berita acara pemeriksaan polisi. Dalam pasal 39 ini tercermin paradigma yang pertama tentang hukum sebagai pelayan masyarakat sangatlah jelas karena hukum menyesuaikan dengan kemajuan dan laju perubahan sosial didalam masyarakat saat ini yang cenderung pesat perubahan sosialnya. Disini juga hukum ada setelah adanya kebiasaan masyarakat dalam mengadopsi anak dan UU ini dibuat untuk melindungi hak calon anak angkat, menjaga hubungan antara si calon anak angkat dengan keluarga kandungnya dari segi kemausian dan hak asasi manusianya serta mengatur tentang kewajiban calon orang tua angkat yang akan melakukan adopsi.
Selanjutnya saya akan menganalisis pasal 40 yang berbunyi sebagai berikut:

1.      Orang tua angkat wajib memberitahukan pada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya.
2.      Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Dari pasal diatas dapat dianalisis bahwa pasal 40 mencerminkan paradigma yang kedua yaitu hukum sebagai rekayasa sosial, hukum diciptakan untuk mejaga hubungan baik si anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga hubungan kedua belah pihak tetap terjaga dengan baik serta anak yang bersangkutan tetap mengetahui asal usul dirinya dan alasan pengangkatan dirinya oleh orang tua angkatnya. Menurut pasal 40 ayat 2 pemberitahuan asal usul anak yang bersangkutan haruslah memperhatikan kesiapan si anak yang bersangkutan dari segi psikis dan mentalnya. Menurut paradigma yang kedua bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial hal ini diperlukan agar hubungan antara anak kandung dan orang tua kandungnya tetap terjalin serta agar anak yang bersangkutan tidak melupakan asal usulnya serta dapat berbakti juga terhadap orang tua kandungnya. UU ini juga diciptakan untuk menjaga hak dari orang tua kadung untuk tetap mengetahui perkembangan serta pertumbuhan dari anak kandung mereka yang diasuh dan dibesarkan oleh orang lain.

Selanjutanya saya akan menganalisis pasal 41sebelum diamandemen pada tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:   

1.      Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2.      Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan pada pasal 41 diubah atau diamandemen pada tahun 2014 dengan tambahan satu pasal yaitu pasal 41a dan akhirnya pasal 41 menjadi berbunyi sebagai berikut:


Pasal 41
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Pasal 41a
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan anak sebagaiana yang dimaksud dalam pasal 39, pasal 40 dan pasal 41 diatur dengan peraturan pemerintah.

Dari pasal diatas dapat dilihat bahwa pasal diatas mencerminkan paradigma hukum yang kedua yaitu hukum sebagai rekayasa sosial dalam artian pasal ini diberi tambahan agar lebih menguatkan dalam sisi hukum serta perlindungan terhadap hak si calon  anak angkat dan jika ada pelaksanaan pengangkatan anak dilingkungan mereka diharapkan masyarakat sekitar dapat membantu membimbing si calon orang tua angkat dalam proses pengasuhan anak angkat mereka. Diharapkan juga masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilingkungan mereka dan segera melaporkan segala bentuk pelanggaran terhadap hak si calon anak angkat dan hak orang tua kandungnya.
Selanjutnya saya akan menganalisis pasal 79 tentang ketentuan pidana soal pengangkatan anak jika terjadi pelanggaran dan ketidaksesuaian dengan pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) yang telah mengantur tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Pasal 79 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak 100000000 (seratus juta rupiah)

Dari pasal diatas telah tercermin paradigma hukum yang pertama yaitu hukum sebagai alat pelayan masyarakat, hukum yang menyesuaikan dengan kamajuan serta perkembangan sosial msayarakat saat ini. Pasal ini diciptakan untuk melindungi hak calon anak angkat dari sisi hukum  saat ada pelanggaran dalam pelaksanaan adopsi oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung anak yang bersangkutan ataupun masyarakat dapat melaporkan pelanggaran pelaksanaan pengangkatan anak tersebut ke kepolisian.
Saya akan menyertakan contoh kasus pelanggaran pelaksanaan pengangkatan anak yang saat ini pun masih dalam proses peradilan dipengadilan negeri Denpasar Bali.
BANDUNG - Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa mengatakan ibu angkat Angeline, anak perempuan yang dibunuh sadis, di Denpasar, Bali, yakni Margareth bisa terancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan membayar denda Rp100 juta.
"Dalam kasus Angeline, orangtua angkatnya tidak mengikuti prosedur itu (adopsi secara sah) maka bisa dikenakan Pasal 79 dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Tapi itu semua diserahkan kepada polisi," kata Khofifah Indar Parawansa, usai menghadiri Konferensi Wilayah Muslimat NU Jawa Barat, di Kota Bandung, Sabtu (13/6/2015) malam.
Ia menegaskan, dalam kasus Angeline, prosedur adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangtua angkatnya yakni WNA-WNI dinyatakan tidak sah atau ilegal.
Menurut dia, prosedur pengangkatan calon anak asuh atau adopsi di Indonesia telah dirancang sedemikian rupa agar bisa melindungi calon anak angkat atau yang diadopsi.
"Anak yang boleh diadopsi adalah anak terlantar atau ditelantarkan atau anak yang memerlukan perlindungan khusus. Kemudian calon orangtua yang mengangkat harus sudah menikah minimal lima tahun, dan tidak boleh keluarga pasangan sejenis," katanya.
"Kalau single parent, harus ada surat keterangan ke Mensos, dan pada posisi seperti ini maka antara orangtua angkat dan si anak angkat harus seagama," lanjut Mensos.
Dikatakan dia, saat hendak melakukan adopsi anak, ada hal penting yang harus jadi pertimbangan yakni proses adopsi tersebut harus berdasarkan kebutuhan perlindungan anak, bukan kebutuhan orangtua sehingga persyaratannya sangat detail.
Berikut adalah prosedur resmi jika warga ingin melakukan adopsi di Indonesia sebagaimana yang dituturkan oleh Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa:
1. Pengangkatan anak atau adopsi bisa dilakukan oleh orangtua yang berasal dari Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia (WNI-WNI), WNI-WNA, WNA-WNI atau single parent.
2. Jika calon orangtua angkat berasal merupakan WNI-WNI maka surat permohonan pengangkatan anak itu harus disampaikan ke Dinas Sosial di tingkat provinsi.
3. Jika calon orangtua angkat berasal dari WNI-WNA, WNA-WNI atau single parent, maka permohonannya harus langsung ditujukan kepada Menteri Sosial.
4. Dari surat permohonan yang masuk apakah ke Dinsos atau Mensos, maka akan ada tim yang ditunjuk untuk melakukan home visit ke rumah calon orang tua asuh.
5. Setelah dua dilakukan home visit dan diketahui alamat resmi calon orangtua angkat, kemudian memiliki kemampuan/kelayakan untuk mengangkat anak baik secara ekonomi atau psikososial maka akan dirapatkan ke tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak.
6. Tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak ini nantinya akan mengambil keputusan atau rekomendasi apakah calon orangtua tersebut bisa melakukan adopsi atau tidak, andai direkomendasikan maka itu sifatnya pengasuhan sementara yakni selama enam bulan.
7. Setelah itu baru ditetapkan oleh pengadilan baik apakah calon orangtua angkat itu bisa mengadopsi anak atau tidak.
            Dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial berpengaruh terhadap perubahan hukum yang berlaku dimasyarakat, hukum dapat dijadikan sebagai alat pelayanan masyarakat ataupun sebagai rekayasa sosial tergantung perubahan masyarakat serta kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dari masa ke masa. Hukum diharapakan dapat mengatur kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat dikeseharian mereka tanpa melanggar hak masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah zulvatun, sosiologi hukum; sebuah pengantar, Yogyakarta, Teras,2012,cet.1
UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 sebelum amandemen
UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 setelah amandemen pada tahun 2014

Selasa, 06 Oktober 2015

Analisis Tentang Penerapan Sistem Hukum di Lapisan Masyarakat

Oleh:
Noviana Niswatur Rohmah 
Mahasiswi HES 3C
IAIN Tulungagung

Dalam tugas saya kali saya akan membahas tentang penerapan sistem hukum didalam lapisan masyarakat yaitu lapisan masyarakat kalangan atas dan kalangan bawah. Apakah ada perbedaan penerapan hukum terhadap lapisan masyarakat tersebut ataukah akan sama perlakuan hukum terhadap penyelesaian masalah yang sedang menimpa mereka. Akankah istilah hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah akan tercermin dari dua kasus yang akan saya sajian berikut ini, saya akan menyajikan 2 contoh kasus yang diduga terdakwanya dari kalangan atas dan bawah apakah ada perbedaan perlakuan aparat hukum dalam menerapkan sistem hukum terhadap perbedaan lapisan masyarakat tersebut. 

Contoh kasus pertama diduga terdakwa dari kalangan atas:



Sabtu, 1 Maret 2014 - 05:05 wib
Kasus 17 PRT Disekap Istri Jenderal Ujian bagi Kepolisian
JAKARTA - Profesionalisme kepolisian diuji dalam kasus dugaan penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di Bogor, Jawa Barat. Pada kasus ini ada dugaan keterlibatan mantan perwira tinggi Polri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang bersama istrinya, Mutiara.

Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyoroti kinerja kepolisan yang menangani kasus ini. Menurutnya, terdapat sebuah keraguan untuk menindak lebih lanjut. “Polresta Bogor tak menanggapi ini secara serius, mereka kalang kabut ketika LSM dan Kapolda turun tangan. Dugaan melindungi korps di sini sangat kuat,” ucap Neta.

Kekhawatiran Polri tidak bisa bertindak tegas muncul karena kerap kali kepolisian melindungi personelnya yang melanggar hukum, atau menutupi fakta keterlibatan anggota atau mantan anggotanya.

Status istri sang (purn) jenderal, Mutiara, baru ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa 25 Februari. Itu pun setelah dilakukan gelar perkara Polres Bogor Kota bersama tim asistensi Mabes Polri dan Polda Jawa Barat. Ironisnya, pada Rabu (26/2), Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Sompie menyatakan bahwa istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang belum berstatus tersangka. Penetapan tersangka baru akan dilakukan setelah adanya laporan visum dan keterangan saksi yang memberatkan.

Neta mengisyaratkan kasus ini akan menambah berat citra buruk kepolisian di mata masyarakat. “Ini sebuah preseden buruk bagi pembangunan citra Polri sebagai aparat penegak hukum,” lanjutnya.

Sementara itu, Destina Lestari anak mantan Kapolri Widodo Budidarmo, menyayangkan terjadinya peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di kediaman Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.

“Sangat tidak manusiawi. Entah apa yang dipikiran pelaku saat itu, saya sangat malu apalagi pelaku berasal dari lingkungan kepolisian juga,” ucap Destina.

Ia juga mempertanyakan kehadiran suami pelaku saat itu, sebagai seorang perwira tinggi kepolisian, menurutnya Brigjen Mangisi Situmorang, harus bertanggung jawab terhadap perilaku isterinya.

“Tidak mungkin suaminya tidak tahu. Dia kan sudah tak aktif lagi jadi pasti selalu di rumah. Memberi rasa aman di rumahnya saja tidak bisa, bagaimana jika ditugaskan untuk melayani masyarakat di luar,” papar alumni Sorbonne University ini.

Kasus penyekapan dan penyiksaan 17 PRT ini terungkap dari laporan salah satu korban, Yuliana Lewier kepada polisi pada 13 Februari lalu yang mengatakan telah diperlakukan secara kasar dan mengaku disekap selama bekerja di kediaman sang Jenderal.
Menindaklanjuti laporan ini, polisi lantas menjemput belasan pembantu rumah tangga (PRT) yang diduga disekap oleh Mutiara. Penjemputan dilakukan Rabu (19/2).
sekira pukul 19.00 WIB menggunakan tiga mobil dari rumah yang beralamat di Perumahan Bogor Baru Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.

Dalam kasus ini, ada beberapa pasal yang bakal dikenakan terkait dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Mutiara. Di antaranya Pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana perdagangan orang, atau Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan atau Pasal 80 Undang-Undang tentang perlindungan anak.

Ancaman hukumannya bervariasi, untuk Pasal 44 Undang-Undang KDRT diancam pidana selama lima tahun penjara, Pasal 2 Undang-Undang Perdagangan Orang diancam selama tiga tahun, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. 

(ful)
 
 
Istri Jenderal Penyekap 17 PRT Divonis 1 Tahun Hukuman Percobaan
Liputan6.com, Bogor Masih ingat dengan kasus penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) yang terjadi tahun lalu di Bogor? Kini kasus yang menyeret istri mantan jenderal polisi, Mutiara Situmorang (MS)‎, itu telah sampai pada sidang vonis. Dalam persidangan, hakim memvonis MS 1 tahun hukuman percobaan.

Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut dilakukan di Ruang Sidang Utama Gedung Pengadilan Negeri Bogor. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Edi Pramulya. Dalam proses sidang, hakim membacakan dakwaan serta pertimbangan-pertimbangan putusan vonis.

Dalam pembacaan dakwaan, hakim menggugurkan 2 dakwaan primer, yakni dakwaan soal penganiayaan dan eksploitasi. Hakim menimbang bahwa selama ini ke-17 PRT diperlakukan dengan baik dan selalu diberi makan oleh MS.

"Tidak terpenuhi unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Pasalnya selama ini para PRT selalu diberi makan. Selain itu, terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya," kata Edi dalam sidang.

Sementara, dakwaan sekunder soal adanya dugaan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang vonis hari ini majelis hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 500 ribu.

"Majelis sidang menjatuhkan pidana selama 1 tahun dan memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada keputusan hakim yang memerintahkan lain yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis," tutur Edi.

Kasus ini mencuat dan menjadi pusat perhatian masyarakat pada ‎awal tahun 2014 lalu. Dimana akhirnya MS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 PRT yang dilakukan di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Blok C D Jalan Danau Mantana, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.


Contoh kasus kedua terduga terdakwa dari kalangan bawah:

Baby Sitter Pembunuh Balita Jalani Tes Kejiwaan


Sabtu, 25 April 2015 09:18




Medan-andalas  T br W alias Ria (14), warga Desa Pertigilama, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, terduga pelaku pembunuh balita Kezya Boru Simanjuntak (2,4) akan menjalani tes kejiwaan. Kondisi kejiwaan Ria terlihat labil saat menjalani pemeriksaan polisi.

"Penyidik sudah mengajukan surat permohonan ke Biro Psikologi USU agar pelaku mendapat konseling. Hari ini suratnya dilayangkan," kata Muslim Harahap dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Jumat (24/4).
Keyza tewas setelah Ria menutup wajah balita itu dengan kain. Menurut pengakuan Ria, ia mengajak Keyza bermain cilukba karena anak asuhnya itu rewel dan tidak bisa tidur. Peristiwa ini sangat mengejutkan orang tua Keyza. Ria yang sudah lama bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga itu dikenal baik dan dekat dengan Keyza.
Menurut Muslim, Ria memberikan keterangan berbeda-beda saat diperiksa. Kadang, ia mengatakan melakukan tindakan itu karena dendam. Kadang, ia mengaku mendengar bisikan gaib.
"Dia pernah mengalami kekerasan waktu dulu bekerja di Batam sama saudara orangtua korban. Ini yang harus kita pastikan dulu. Maka jangan terlalu cepat mengkriminalisasi pelaku. Hasil kerjanya bagus, tapi pelaku memang terkesan tertutup," kata Muslim.
Kapolsekta Deli Tua Kompol Anggoro Wicaksono membenarkan soal rencana memeriksa kejiwaan Ria.
"Kami sudah mengajukan permohonan agar pelaku mejalani pemeriksaan psikologi di USU. Kita tunggu hasilnya. Dari kesimpulan pemeriksaan psikologi ini kita akan melanjutkan proses hukum pelaku. Setelah uji ini, kita akan melakukan rekonstruksi," kata Kapolsek.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang baby sitter membunuh anak majikan dengan cara membekap wajahnya dengan selimut. Pengasuh anak berinisial T Br W alias Ria (14) ini nekad membunuh balita berusia 2,4 tahun lantaran mengaku sakit hati pernah diperkosa keluarga majikannya.
Tiga jam setelah melakukan aksi pembunuhan itu, wanita ABG asal Desa Pertibi Lama, Kecamatan Merek, Kabupaten Tanah Karo ini dicokok personel Reskrim Polsek Delitua dari rumah majikannya di Jalan Jamin Ginting Gang Saudara No 3, Kelurahan Kwala Bekala, Medan Johor, Rabu (22/4).
Kapolsek Delitua Kompol Anggoro Wicaksono SH, SIK, MH ketika dikonfirmasi melalui Kanit Reskrim AKP Martualesi Sitepu SH, MH, Kamis (23/4) menjelaskan, pembunuhan itu terjadi di rumah Simon Petrus Simanjuntak dan Erniati Br Ginting, majikan tersangka.
Dalam pemeriksaan, tersangka sempat tidak mengakui perbuatnnya. Dia beralibi kalau korban Kezia Nataniella Br Simanjuntak (2,4) sendiri yang menutup wajahnya dengan selimut hingga tewas.
"Dari hasil prarekonstruksi yang kita lakukan di TKP, tersangka sempat mengelak dengan mengatakan bahwa korban sendiri yang menutup mukanya dengan selimut saat bermain cilukba,” kata Martualesi.
Dua kali tersangka menutupkan selimut ke wajah korban, tambahnya, belum terjadi apa-apa. Ketiga kali tersangka menutup wajah korban agak lama, ketika dibuka korban sudah tidak bernyawa," tambah Martualesi.
Dalam pemeriksaan, lanjut Martualesi Sitepu, tersangka menghabisi nyawa korban sekira pukul 13.30 WIB, saat korban tidur di kamar oleh tersangka menutupi badan, dan wajah koban dengan selimut.
Tersangka dengan menggunakan telapak tangan kirinya juga membekap mulut, dan hidung korban sekitar 15 menit. Korban sempat meronta, namun tersangka tetap menekan sampai akhirnya korban lemas.
Kemudian, tersangka melepaskan tangannya dan membuka selimut. Setelah melihat korban tewas, tersangka lalu mengganti baju korban yang sudah basah karena keringatan. Lalu tersangka mengangkat korban dan membuka pintu lalu berteriak minta tolong yang dibantu tiga orang saksi dengan menumpang betor korban dibawa ke Klinik Medica, Jalan Jamin Ginting. Sesampainya di klinik, setelah diperiksa dokter jaga, korban telah meninggal dunia.
"Terhadap tersangka dijerat dengan Pasal 80 ayat 3 UU RI NO 35 TH 2014 Perubahan atas UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun. (KC/HER)

Bunuh balita yang diasuh, Ria dituntut 15 tahun penjara

 Senin, 5 Oktober 2015 16:04

Merdeka.com - Timeria Waruwu alias Ria (18 tahun) dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Jaksa menilainya telah bersalah membunuh balita yang diasuhnya.

Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Joice V Sinaga di Pengadilan Negeri Medan, Senin (5/10). Joice menyatakan, perbuatan Ria telah memenuhi unsur pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ria dinyatakan melakukan kekejaman kekerasan atau penganiayaan terhadap Kezia Nataniella Boru Simanjuntak (2 tahun 4 bulan), sehingga balita itu meninggal dunia.

"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhi terdakwa Timeria Waruwu dengan hukuman 15 tahun penjara, dikurangkan masa tahanan yang sudah dijalani. Menjatuhi terdakwa dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," kata Joice di hadapan majelis hakim dipimpin Gerchat Pasaribu.Setelah dakwaan dibacakan, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan. Saat ditanyai, Timeria yang tengah digiring menuju ruang tahanan sementara PN Medan tidak berkomentar. Namun, kerabat korban sempat mengejarnya sambil berteriak.

"Kami kecewa, seharusnya tuntutannya seumur hidup, karena dia melakukan pembunuhan berencana," kata Kris, yang mengaku sebagai bibi korban.

Timeria didakwa telah melakukan kekerasan terhadap Kezia yang diasuhnya, di rumah majikannya, pasangan Simon Petrus Simanjuntak dan Erniati beru Ginting, di Jalan Jamin Ginting, Gang Saudara, Kwala Bekala, Medan Johor, Rabu (22/4) sore. Anak sang majikan tewas setelah mulut dan hidungnya dibekap dengan selimut.

Timeria mengakui telah melakukan kekerasan yang menewaskan Kezia. Saat ditanya alasan membunuh, dia mengaku dendam karena pernah diperkosa paman korban.
[ary]

Tabel Perbandingan Kedua Kasus di Atas


Klasifikasi
Kasus Pertama
Kasus Kedua
Jenis Pidana
Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga
Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Nama Terdakwa
Mutiara Situmorang
Timeria Waruwu
Jumlah Korban
17 orang
1 orang
Kerugian Materiil
Gaji korban selama 3 bulan
Tidak ada
Kerugian Imateriil
Korban (17 PRT)  menjadi trauma, psikisnya tertekan.
Keluarga korban (Kezya Bou Simanjutak) kehilangan salah satu anggota keluarganya, trauma, tertekan, kesedihan yang mendalam.
Perlakuan Aparat Hukum
Hakim ketua Edi Pramulya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda 500rb rupiah tanpa ditahan sampai ada perintah lain dari hakim jika terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis.
Menjatuhkan hukuman maksimal atas tindak pidana Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu, hukuman 15 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Fasilitas yang Diterima Saat Proses Hukum
Ada keringanan hukuman disidang banding, pengguguran 2 dakwaan primer berupa penganiayaan dan eksploitasi dengan alasan kurang kuatnya bukti dan hanya dijerat tindak pidana dugaan KDRT.
Dihukum sesuai undang-undang yang berlaku dengan hukuman maksimal sesuai pengakuan tersangka dan dakwaan jaksa penuntut umum.



 ANALISIS SOSIAL:
 Dari kedua kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan serta jabatan seseorang masih berpengaruh dalam penerapan hukum di indonesia saat ini seperti teori Karl Mark bahwa hukum berpihak pada penguasa jadi hukum hanya berpihak pada seseorang yang memiliki jabatan atau pun kekuasaan dalam segala bidang. Seperti pada kasus dengan  terdakwa istri mantan jendral yang menerima begitu banyak keringan setelah terdakwa terbukti melakukan tindak pidana KDRT terhadap 17 PRT dirumahnya hanya dijatuhi hukuman percobaan 1 tahun disidang banding oleh hakim ketua Edi Pramulya dengan alasan 2 dakwaan primer tidak terbukti karena terdakwa memberi makan serta membantu proses persalinan dari salah satu korban tersebut. Banyak keganjilan yang terjadi dialam kasus ini yaitu ringannya putusan hakim yang hanya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun atas tindak KDRT terhadap 17 PRT yang notabennya haknya telah dilanggar dan terjadi pula tindak kekerasaan yang telah mengakibatkan trauma secara prikis kepada korbannya. Berbeda dengan kasus istri mantan jendral tersebut yang terkesan terlalu banyak mendapatkan keistimewaan dan keringan Ria pengasuh yang menganiaya serta membunuh anak asuhnya dijatuhi hukuman maksimal dengan denda maksimal juga tanpa adanya pertimbangan keringanan serta pertimbangan alasan terdakwa melakukan hal tersebut yang didasarkan pada dendam terdakwa terhadap paman korban yang diduga telah memperkosanya, jaksa penuntut umum tetap menuntut dengan hukuman maksimal dan hakim mengabulkan hal tersebut. Jadi kesimpulannya hukum di Indonesia masih 'tumpul keatas dan tajam kebawah' masih banyak yang menjadikan jabatan serta kekuasaan sebagai tameng dalam penerapan sistem hukum di Indonesia, penerapan persamaan hak dimuka hukum belum terlaksana dikehidupan nyata dan masih jauh dari kata adil dalam penerapannya. Pernyataan Donald Black tentang perlakuan hukum berbeda-beda pada tiap lapisan masyarakat benar adanya dan terjadi didalam masyarakat kita sekarang ini dan hal tersebut terjadi bukan hanya semata-mata karena jabatan serta kekuasaan tetapi juga tentang kurangnya pemahaman hukum oleh para aparatnya yang hanya melaksanakan tugas sesuai perintah atasan bukan sesuai UU yang berlaku saat ini.