Minggu, 08 November 2015

Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Perubahan Hukum



Oleh:
Noviana Niswatur Rohmah
1711143065/HES 3C
IAIN Tulungagung

Dalam tugas saya kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum. Hubungan tersebut  merupakan hubungan interaksi atau timbal balik yang berpengaruh terhadap perubahan keduanya yaitu perubahan sosial dan hukum. Keduanya berinteraksi satu sama lain dan menimbulkan dampak tertentu. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya terdapat dua paradigma atau cara pandang secara ilmiah.
1.      Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak tertinggal oleh laju perubahan masyarakat.

Ciri-ciri paradigma ini adalah:
a)      Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung di ikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi saling bergantungan
b)      Hukum selalu menyesuaikan diri pada perubahan sosial
c)      Hukum berfungsi sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial

Paradigma ini disebut juga paradigma hukum penyesuaian kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

2.      Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan.

Ciri-ciri paradigm ini adalah:
a)       Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat
b)       Hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat secara langsung
c)       Hukum berorientasi masa depan

Inti dari perubahan ini adalah hukum diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang mungkin akan muncul. Paradigma ini disebut juga paradigma hukum antisipasi masa depan. Saya akan menganalisis beberapa pasal tentang UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 dan bagaimana penerapan dua paradigma perubahan sosial terhadap hukum tersebut. Saya disini akan menganalisi penerapan dua paradigma tersebut dibeberapa pasal dalam UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 tepatnya bab VIII tentang pengasuhan dan pengangkatan anak, saya disini akan membahas pasal bagian keduanya yaitu tentang pengangkatan anak pasal 39 sampai 41 dan pasal 79 tentang ketentuan pidana pelaksanaan pengangkatan anak
.
Yang pertama saya akan membahas tentang pasal 39 yang belum diamandemen yang berbunyi:
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anakdan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempatdan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pengangkatan anak yang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan mayoritas penduduk setempat.
Pasal ini pada tahun 2014 diamandemen atau dirubah dengan ketentuan ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1(satu) ayat yakni ayat (2a) dan diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1(satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga pasal 39 berbunyi sebagai berikut: 
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempatdan ketentuan peraturan perundang-undangan
2.      Pengangkatan anak yang sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
2a. Pengangkatan anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan
pada akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
4a. Dalam hal anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat anak
tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 ayat(4)
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Dari pasal diatas yang telah diamandemen pada tahun 2014 ada beberapa tambahan pasal yaitu pada ayat 2 dan 4 masing-masing satu ayat tambahan. Pada ayat 2a ditambahkan bahwa identitas anak angkat wajib dicatatkan diakta kelahiran sesuai identitas awal anak dan jika asal usul anak angkat tidak diketahui orang tua angkat wajib menyertakan identitas anak sesuai dengan pasal 27 ayat (4) yaitu dengan keterangan orang yang menemukan dan dilengkapi dengan berita acara pemeriksaan polisi. Dalam pasal 39 ini tercermin paradigma yang pertama tentang hukum sebagai pelayan masyarakat sangatlah jelas karena hukum menyesuaikan dengan kemajuan dan laju perubahan sosial didalam masyarakat saat ini yang cenderung pesat perubahan sosialnya. Disini juga hukum ada setelah adanya kebiasaan masyarakat dalam mengadopsi anak dan UU ini dibuat untuk melindungi hak calon anak angkat, menjaga hubungan antara si calon anak angkat dengan keluarga kandungnya dari segi kemausian dan hak asasi manusianya serta mengatur tentang kewajiban calon orang tua angkat yang akan melakukan adopsi.
Selanjutnya saya akan menganalisis pasal 40 yang berbunyi sebagai berikut:

1.      Orang tua angkat wajib memberitahukan pada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya.
2.      Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Dari pasal diatas dapat dianalisis bahwa pasal 40 mencerminkan paradigma yang kedua yaitu hukum sebagai rekayasa sosial, hukum diciptakan untuk mejaga hubungan baik si anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga hubungan kedua belah pihak tetap terjaga dengan baik serta anak yang bersangkutan tetap mengetahui asal usul dirinya dan alasan pengangkatan dirinya oleh orang tua angkatnya. Menurut pasal 40 ayat 2 pemberitahuan asal usul anak yang bersangkutan haruslah memperhatikan kesiapan si anak yang bersangkutan dari segi psikis dan mentalnya. Menurut paradigma yang kedua bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial hal ini diperlukan agar hubungan antara anak kandung dan orang tua kandungnya tetap terjalin serta agar anak yang bersangkutan tidak melupakan asal usulnya serta dapat berbakti juga terhadap orang tua kandungnya. UU ini juga diciptakan untuk menjaga hak dari orang tua kadung untuk tetap mengetahui perkembangan serta pertumbuhan dari anak kandung mereka yang diasuh dan dibesarkan oleh orang lain.

Selanjutanya saya akan menganalisis pasal 41sebelum diamandemen pada tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:   

1.      Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2.      Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan pada pasal 41 diubah atau diamandemen pada tahun 2014 dengan tambahan satu pasal yaitu pasal 41a dan akhirnya pasal 41 menjadi berbunyi sebagai berikut:


Pasal 41
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Pasal 41a
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan anak sebagaiana yang dimaksud dalam pasal 39, pasal 40 dan pasal 41 diatur dengan peraturan pemerintah.

Dari pasal diatas dapat dilihat bahwa pasal diatas mencerminkan paradigma hukum yang kedua yaitu hukum sebagai rekayasa sosial dalam artian pasal ini diberi tambahan agar lebih menguatkan dalam sisi hukum serta perlindungan terhadap hak si calon  anak angkat dan jika ada pelaksanaan pengangkatan anak dilingkungan mereka diharapkan masyarakat sekitar dapat membantu membimbing si calon orang tua angkat dalam proses pengasuhan anak angkat mereka. Diharapkan juga masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilingkungan mereka dan segera melaporkan segala bentuk pelanggaran terhadap hak si calon anak angkat dan hak orang tua kandungnya.
Selanjutnya saya akan menganalisis pasal 79 tentang ketentuan pidana soal pengangkatan anak jika terjadi pelanggaran dan ketidaksesuaian dengan pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) yang telah mengantur tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Pasal 79 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak 100000000 (seratus juta rupiah)

Dari pasal diatas telah tercermin paradigma hukum yang pertama yaitu hukum sebagai alat pelayan masyarakat, hukum yang menyesuaikan dengan kamajuan serta perkembangan sosial msayarakat saat ini. Pasal ini diciptakan untuk melindungi hak calon anak angkat dari sisi hukum  saat ada pelanggaran dalam pelaksanaan adopsi oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung anak yang bersangkutan ataupun masyarakat dapat melaporkan pelanggaran pelaksanaan pengangkatan anak tersebut ke kepolisian.
Saya akan menyertakan contoh kasus pelanggaran pelaksanaan pengangkatan anak yang saat ini pun masih dalam proses peradilan dipengadilan negeri Denpasar Bali.
BANDUNG - Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa mengatakan ibu angkat Angeline, anak perempuan yang dibunuh sadis, di Denpasar, Bali, yakni Margareth bisa terancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan membayar denda Rp100 juta.
"Dalam kasus Angeline, orangtua angkatnya tidak mengikuti prosedur itu (adopsi secara sah) maka bisa dikenakan Pasal 79 dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Tapi itu semua diserahkan kepada polisi," kata Khofifah Indar Parawansa, usai menghadiri Konferensi Wilayah Muslimat NU Jawa Barat, di Kota Bandung, Sabtu (13/6/2015) malam.
Ia menegaskan, dalam kasus Angeline, prosedur adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangtua angkatnya yakni WNA-WNI dinyatakan tidak sah atau ilegal.
Menurut dia, prosedur pengangkatan calon anak asuh atau adopsi di Indonesia telah dirancang sedemikian rupa agar bisa melindungi calon anak angkat atau yang diadopsi.
"Anak yang boleh diadopsi adalah anak terlantar atau ditelantarkan atau anak yang memerlukan perlindungan khusus. Kemudian calon orangtua yang mengangkat harus sudah menikah minimal lima tahun, dan tidak boleh keluarga pasangan sejenis," katanya.
"Kalau single parent, harus ada surat keterangan ke Mensos, dan pada posisi seperti ini maka antara orangtua angkat dan si anak angkat harus seagama," lanjut Mensos.
Dikatakan dia, saat hendak melakukan adopsi anak, ada hal penting yang harus jadi pertimbangan yakni proses adopsi tersebut harus berdasarkan kebutuhan perlindungan anak, bukan kebutuhan orangtua sehingga persyaratannya sangat detail.
Berikut adalah prosedur resmi jika warga ingin melakukan adopsi di Indonesia sebagaimana yang dituturkan oleh Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa:
1. Pengangkatan anak atau adopsi bisa dilakukan oleh orangtua yang berasal dari Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia (WNI-WNI), WNI-WNA, WNA-WNI atau single parent.
2. Jika calon orangtua angkat berasal merupakan WNI-WNI maka surat permohonan pengangkatan anak itu harus disampaikan ke Dinas Sosial di tingkat provinsi.
3. Jika calon orangtua angkat berasal dari WNI-WNA, WNA-WNI atau single parent, maka permohonannya harus langsung ditujukan kepada Menteri Sosial.
4. Dari surat permohonan yang masuk apakah ke Dinsos atau Mensos, maka akan ada tim yang ditunjuk untuk melakukan home visit ke rumah calon orang tua asuh.
5. Setelah dua dilakukan home visit dan diketahui alamat resmi calon orangtua angkat, kemudian memiliki kemampuan/kelayakan untuk mengangkat anak baik secara ekonomi atau psikososial maka akan dirapatkan ke tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak.
6. Tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak ini nantinya akan mengambil keputusan atau rekomendasi apakah calon orangtua tersebut bisa melakukan adopsi atau tidak, andai direkomendasikan maka itu sifatnya pengasuhan sementara yakni selama enam bulan.
7. Setelah itu baru ditetapkan oleh pengadilan baik apakah calon orangtua angkat itu bisa mengadopsi anak atau tidak.
            Dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial berpengaruh terhadap perubahan hukum yang berlaku dimasyarakat, hukum dapat dijadikan sebagai alat pelayanan masyarakat ataupun sebagai rekayasa sosial tergantung perubahan masyarakat serta kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dari masa ke masa. Hukum diharapakan dapat mengatur kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat dikeseharian mereka tanpa melanggar hak masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah zulvatun, sosiologi hukum; sebuah pengantar, Yogyakarta, Teras,2012,cet.1
UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 sebelum amandemen
UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 setelah amandemen pada tahun 2014