Selasa, 06 Oktober 2015

Analisis Tentang Penerapan Sistem Hukum di Lapisan Masyarakat

Oleh:
Noviana Niswatur Rohmah 
Mahasiswi HES 3C
IAIN Tulungagung

Dalam tugas saya kali saya akan membahas tentang penerapan sistem hukum didalam lapisan masyarakat yaitu lapisan masyarakat kalangan atas dan kalangan bawah. Apakah ada perbedaan penerapan hukum terhadap lapisan masyarakat tersebut ataukah akan sama perlakuan hukum terhadap penyelesaian masalah yang sedang menimpa mereka. Akankah istilah hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah akan tercermin dari dua kasus yang akan saya sajian berikut ini, saya akan menyajikan 2 contoh kasus yang diduga terdakwanya dari kalangan atas dan bawah apakah ada perbedaan perlakuan aparat hukum dalam menerapkan sistem hukum terhadap perbedaan lapisan masyarakat tersebut. 

Contoh kasus pertama diduga terdakwa dari kalangan atas:



Sabtu, 1 Maret 2014 - 05:05 wib
Kasus 17 PRT Disekap Istri Jenderal Ujian bagi Kepolisian
JAKARTA - Profesionalisme kepolisian diuji dalam kasus dugaan penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di Bogor, Jawa Barat. Pada kasus ini ada dugaan keterlibatan mantan perwira tinggi Polri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang bersama istrinya, Mutiara.

Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyoroti kinerja kepolisan yang menangani kasus ini. Menurutnya, terdapat sebuah keraguan untuk menindak lebih lanjut. “Polresta Bogor tak menanggapi ini secara serius, mereka kalang kabut ketika LSM dan Kapolda turun tangan. Dugaan melindungi korps di sini sangat kuat,” ucap Neta.

Kekhawatiran Polri tidak bisa bertindak tegas muncul karena kerap kali kepolisian melindungi personelnya yang melanggar hukum, atau menutupi fakta keterlibatan anggota atau mantan anggotanya.

Status istri sang (purn) jenderal, Mutiara, baru ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa 25 Februari. Itu pun setelah dilakukan gelar perkara Polres Bogor Kota bersama tim asistensi Mabes Polri dan Polda Jawa Barat. Ironisnya, pada Rabu (26/2), Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Sompie menyatakan bahwa istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang belum berstatus tersangka. Penetapan tersangka baru akan dilakukan setelah adanya laporan visum dan keterangan saksi yang memberatkan.

Neta mengisyaratkan kasus ini akan menambah berat citra buruk kepolisian di mata masyarakat. “Ini sebuah preseden buruk bagi pembangunan citra Polri sebagai aparat penegak hukum,” lanjutnya.

Sementara itu, Destina Lestari anak mantan Kapolri Widodo Budidarmo, menyayangkan terjadinya peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di kediaman Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.

“Sangat tidak manusiawi. Entah apa yang dipikiran pelaku saat itu, saya sangat malu apalagi pelaku berasal dari lingkungan kepolisian juga,” ucap Destina.

Ia juga mempertanyakan kehadiran suami pelaku saat itu, sebagai seorang perwira tinggi kepolisian, menurutnya Brigjen Mangisi Situmorang, harus bertanggung jawab terhadap perilaku isterinya.

“Tidak mungkin suaminya tidak tahu. Dia kan sudah tak aktif lagi jadi pasti selalu di rumah. Memberi rasa aman di rumahnya saja tidak bisa, bagaimana jika ditugaskan untuk melayani masyarakat di luar,” papar alumni Sorbonne University ini.

Kasus penyekapan dan penyiksaan 17 PRT ini terungkap dari laporan salah satu korban, Yuliana Lewier kepada polisi pada 13 Februari lalu yang mengatakan telah diperlakukan secara kasar dan mengaku disekap selama bekerja di kediaman sang Jenderal.
Menindaklanjuti laporan ini, polisi lantas menjemput belasan pembantu rumah tangga (PRT) yang diduga disekap oleh Mutiara. Penjemputan dilakukan Rabu (19/2).
sekira pukul 19.00 WIB menggunakan tiga mobil dari rumah yang beralamat di Perumahan Bogor Baru Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.

Dalam kasus ini, ada beberapa pasal yang bakal dikenakan terkait dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Mutiara. Di antaranya Pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana perdagangan orang, atau Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan atau Pasal 80 Undang-Undang tentang perlindungan anak.

Ancaman hukumannya bervariasi, untuk Pasal 44 Undang-Undang KDRT diancam pidana selama lima tahun penjara, Pasal 2 Undang-Undang Perdagangan Orang diancam selama tiga tahun, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. 

(ful)
 
 
Istri Jenderal Penyekap 17 PRT Divonis 1 Tahun Hukuman Percobaan
Liputan6.com, Bogor Masih ingat dengan kasus penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) yang terjadi tahun lalu di Bogor? Kini kasus yang menyeret istri mantan jenderal polisi, Mutiara Situmorang (MS)‎, itu telah sampai pada sidang vonis. Dalam persidangan, hakim memvonis MS 1 tahun hukuman percobaan.

Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut dilakukan di Ruang Sidang Utama Gedung Pengadilan Negeri Bogor. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Edi Pramulya. Dalam proses sidang, hakim membacakan dakwaan serta pertimbangan-pertimbangan putusan vonis.

Dalam pembacaan dakwaan, hakim menggugurkan 2 dakwaan primer, yakni dakwaan soal penganiayaan dan eksploitasi. Hakim menimbang bahwa selama ini ke-17 PRT diperlakukan dengan baik dan selalu diberi makan oleh MS.

"Tidak terpenuhi unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Pasalnya selama ini para PRT selalu diberi makan. Selain itu, terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya," kata Edi dalam sidang.

Sementara, dakwaan sekunder soal adanya dugaan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang vonis hari ini majelis hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 500 ribu.

"Majelis sidang menjatuhkan pidana selama 1 tahun dan memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada keputusan hakim yang memerintahkan lain yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis," tutur Edi.

Kasus ini mencuat dan menjadi pusat perhatian masyarakat pada ‎awal tahun 2014 lalu. Dimana akhirnya MS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 PRT yang dilakukan di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Blok C D Jalan Danau Mantana, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.


Contoh kasus kedua terduga terdakwa dari kalangan bawah:

Baby Sitter Pembunuh Balita Jalani Tes Kejiwaan


Sabtu, 25 April 2015 09:18




Medan-andalas  T br W alias Ria (14), warga Desa Pertigilama, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, terduga pelaku pembunuh balita Kezya Boru Simanjuntak (2,4) akan menjalani tes kejiwaan. Kondisi kejiwaan Ria terlihat labil saat menjalani pemeriksaan polisi.

"Penyidik sudah mengajukan surat permohonan ke Biro Psikologi USU agar pelaku mendapat konseling. Hari ini suratnya dilayangkan," kata Muslim Harahap dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Jumat (24/4).
Keyza tewas setelah Ria menutup wajah balita itu dengan kain. Menurut pengakuan Ria, ia mengajak Keyza bermain cilukba karena anak asuhnya itu rewel dan tidak bisa tidur. Peristiwa ini sangat mengejutkan orang tua Keyza. Ria yang sudah lama bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga itu dikenal baik dan dekat dengan Keyza.
Menurut Muslim, Ria memberikan keterangan berbeda-beda saat diperiksa. Kadang, ia mengatakan melakukan tindakan itu karena dendam. Kadang, ia mengaku mendengar bisikan gaib.
"Dia pernah mengalami kekerasan waktu dulu bekerja di Batam sama saudara orangtua korban. Ini yang harus kita pastikan dulu. Maka jangan terlalu cepat mengkriminalisasi pelaku. Hasil kerjanya bagus, tapi pelaku memang terkesan tertutup," kata Muslim.
Kapolsekta Deli Tua Kompol Anggoro Wicaksono membenarkan soal rencana memeriksa kejiwaan Ria.
"Kami sudah mengajukan permohonan agar pelaku mejalani pemeriksaan psikologi di USU. Kita tunggu hasilnya. Dari kesimpulan pemeriksaan psikologi ini kita akan melanjutkan proses hukum pelaku. Setelah uji ini, kita akan melakukan rekonstruksi," kata Kapolsek.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang baby sitter membunuh anak majikan dengan cara membekap wajahnya dengan selimut. Pengasuh anak berinisial T Br W alias Ria (14) ini nekad membunuh balita berusia 2,4 tahun lantaran mengaku sakit hati pernah diperkosa keluarga majikannya.
Tiga jam setelah melakukan aksi pembunuhan itu, wanita ABG asal Desa Pertibi Lama, Kecamatan Merek, Kabupaten Tanah Karo ini dicokok personel Reskrim Polsek Delitua dari rumah majikannya di Jalan Jamin Ginting Gang Saudara No 3, Kelurahan Kwala Bekala, Medan Johor, Rabu (22/4).
Kapolsek Delitua Kompol Anggoro Wicaksono SH, SIK, MH ketika dikonfirmasi melalui Kanit Reskrim AKP Martualesi Sitepu SH, MH, Kamis (23/4) menjelaskan, pembunuhan itu terjadi di rumah Simon Petrus Simanjuntak dan Erniati Br Ginting, majikan tersangka.
Dalam pemeriksaan, tersangka sempat tidak mengakui perbuatnnya. Dia beralibi kalau korban Kezia Nataniella Br Simanjuntak (2,4) sendiri yang menutup wajahnya dengan selimut hingga tewas.
"Dari hasil prarekonstruksi yang kita lakukan di TKP, tersangka sempat mengelak dengan mengatakan bahwa korban sendiri yang menutup mukanya dengan selimut saat bermain cilukba,” kata Martualesi.
Dua kali tersangka menutupkan selimut ke wajah korban, tambahnya, belum terjadi apa-apa. Ketiga kali tersangka menutup wajah korban agak lama, ketika dibuka korban sudah tidak bernyawa," tambah Martualesi.
Dalam pemeriksaan, lanjut Martualesi Sitepu, tersangka menghabisi nyawa korban sekira pukul 13.30 WIB, saat korban tidur di kamar oleh tersangka menutupi badan, dan wajah koban dengan selimut.
Tersangka dengan menggunakan telapak tangan kirinya juga membekap mulut, dan hidung korban sekitar 15 menit. Korban sempat meronta, namun tersangka tetap menekan sampai akhirnya korban lemas.
Kemudian, tersangka melepaskan tangannya dan membuka selimut. Setelah melihat korban tewas, tersangka lalu mengganti baju korban yang sudah basah karena keringatan. Lalu tersangka mengangkat korban dan membuka pintu lalu berteriak minta tolong yang dibantu tiga orang saksi dengan menumpang betor korban dibawa ke Klinik Medica, Jalan Jamin Ginting. Sesampainya di klinik, setelah diperiksa dokter jaga, korban telah meninggal dunia.
"Terhadap tersangka dijerat dengan Pasal 80 ayat 3 UU RI NO 35 TH 2014 Perubahan atas UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun. (KC/HER)

Bunuh balita yang diasuh, Ria dituntut 15 tahun penjara

 Senin, 5 Oktober 2015 16:04

Merdeka.com - Timeria Waruwu alias Ria (18 tahun) dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Jaksa menilainya telah bersalah membunuh balita yang diasuhnya.

Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Joice V Sinaga di Pengadilan Negeri Medan, Senin (5/10). Joice menyatakan, perbuatan Ria telah memenuhi unsur pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ria dinyatakan melakukan kekejaman kekerasan atau penganiayaan terhadap Kezia Nataniella Boru Simanjuntak (2 tahun 4 bulan), sehingga balita itu meninggal dunia.

"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhi terdakwa Timeria Waruwu dengan hukuman 15 tahun penjara, dikurangkan masa tahanan yang sudah dijalani. Menjatuhi terdakwa dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," kata Joice di hadapan majelis hakim dipimpin Gerchat Pasaribu.Setelah dakwaan dibacakan, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan. Saat ditanyai, Timeria yang tengah digiring menuju ruang tahanan sementara PN Medan tidak berkomentar. Namun, kerabat korban sempat mengejarnya sambil berteriak.

"Kami kecewa, seharusnya tuntutannya seumur hidup, karena dia melakukan pembunuhan berencana," kata Kris, yang mengaku sebagai bibi korban.

Timeria didakwa telah melakukan kekerasan terhadap Kezia yang diasuhnya, di rumah majikannya, pasangan Simon Petrus Simanjuntak dan Erniati beru Ginting, di Jalan Jamin Ginting, Gang Saudara, Kwala Bekala, Medan Johor, Rabu (22/4) sore. Anak sang majikan tewas setelah mulut dan hidungnya dibekap dengan selimut.

Timeria mengakui telah melakukan kekerasan yang menewaskan Kezia. Saat ditanya alasan membunuh, dia mengaku dendam karena pernah diperkosa paman korban.
[ary]

Tabel Perbandingan Kedua Kasus di Atas


Klasifikasi
Kasus Pertama
Kasus Kedua
Jenis Pidana
Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga
Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Nama Terdakwa
Mutiara Situmorang
Timeria Waruwu
Jumlah Korban
17 orang
1 orang
Kerugian Materiil
Gaji korban selama 3 bulan
Tidak ada
Kerugian Imateriil
Korban (17 PRT)  menjadi trauma, psikisnya tertekan.
Keluarga korban (Kezya Bou Simanjutak) kehilangan salah satu anggota keluarganya, trauma, tertekan, kesedihan yang mendalam.
Perlakuan Aparat Hukum
Hakim ketua Edi Pramulya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda 500rb rupiah tanpa ditahan sampai ada perintah lain dari hakim jika terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis.
Menjatuhkan hukuman maksimal atas tindak pidana Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu, hukuman 15 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Fasilitas yang Diterima Saat Proses Hukum
Ada keringanan hukuman disidang banding, pengguguran 2 dakwaan primer berupa penganiayaan dan eksploitasi dengan alasan kurang kuatnya bukti dan hanya dijerat tindak pidana dugaan KDRT.
Dihukum sesuai undang-undang yang berlaku dengan hukuman maksimal sesuai pengakuan tersangka dan dakwaan jaksa penuntut umum.



 ANALISIS SOSIAL:
 Dari kedua kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan serta jabatan seseorang masih berpengaruh dalam penerapan hukum di indonesia saat ini seperti teori Karl Mark bahwa hukum berpihak pada penguasa jadi hukum hanya berpihak pada seseorang yang memiliki jabatan atau pun kekuasaan dalam segala bidang. Seperti pada kasus dengan  terdakwa istri mantan jendral yang menerima begitu banyak keringan setelah terdakwa terbukti melakukan tindak pidana KDRT terhadap 17 PRT dirumahnya hanya dijatuhi hukuman percobaan 1 tahun disidang banding oleh hakim ketua Edi Pramulya dengan alasan 2 dakwaan primer tidak terbukti karena terdakwa memberi makan serta membantu proses persalinan dari salah satu korban tersebut. Banyak keganjilan yang terjadi dialam kasus ini yaitu ringannya putusan hakim yang hanya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun atas tindak KDRT terhadap 17 PRT yang notabennya haknya telah dilanggar dan terjadi pula tindak kekerasaan yang telah mengakibatkan trauma secara prikis kepada korbannya. Berbeda dengan kasus istri mantan jendral tersebut yang terkesan terlalu banyak mendapatkan keistimewaan dan keringan Ria pengasuh yang menganiaya serta membunuh anak asuhnya dijatuhi hukuman maksimal dengan denda maksimal juga tanpa adanya pertimbangan keringanan serta pertimbangan alasan terdakwa melakukan hal tersebut yang didasarkan pada dendam terdakwa terhadap paman korban yang diduga telah memperkosanya, jaksa penuntut umum tetap menuntut dengan hukuman maksimal dan hakim mengabulkan hal tersebut. Jadi kesimpulannya hukum di Indonesia masih 'tumpul keatas dan tajam kebawah' masih banyak yang menjadikan jabatan serta kekuasaan sebagai tameng dalam penerapan sistem hukum di Indonesia, penerapan persamaan hak dimuka hukum belum terlaksana dikehidupan nyata dan masih jauh dari kata adil dalam penerapannya. Pernyataan Donald Black tentang perlakuan hukum berbeda-beda pada tiap lapisan masyarakat benar adanya dan terjadi didalam masyarakat kita sekarang ini dan hal tersebut terjadi bukan hanya semata-mata karena jabatan serta kekuasaan tetapi juga tentang kurangnya pemahaman hukum oleh para aparatnya yang hanya melaksanakan tugas sesuai perintah atasan bukan sesuai UU yang berlaku saat ini.